SEJARAH BOBOTOH

Jadi ”Bobotoh” Persib Tahun 1960-an

bobotoh Persib telah ada sejak dulu. Paling tidak, saya mengalami sendiri akhir tahun 1959 hingga 1964. Ketika duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) kelas 5 hingga SMP kelas 3 di Kota Kecamatan Limbangan, Garut. Setelah melanjutkan sekolah di Garut Kota (SGA, kemudian berubah nama menjadi SPG), kegiatan menjadi bobotoh Persib terhenti. Soalnya, bekal dari orang tua paspasan sekali. Tak dapat menyisihkan buat ongkos nonton Persib bertanding di Bandung.
Kalau masih di kampung, sekadar buat membeli karcis, dapat mencari ke sana kemari. Mulai dari menjual dua tiga ikat kayu bakar, hingga menjual telur ayam atau bebek. Bahkan kadang-kadang isi sarang ayam tetangga pun ikut terkuras. Maklum, usia sedang nakal-nakalnya.
Untuk ongkos kendaraan Limbangan-Bandung, tak terlalu sulit. Pergi ke Bandung, numpang truk pengangkut minyak kelapa dari Ciamis. Setiap hari Ahad pkl.11.00 truk itu menurunkan muatan drum minyak di beberapa toko dekat pasar. Jika sudah selesai, saya dan beberapa kawan seusia, segera meloncat diam-diam. Bersembunyi di sela-sela deretan drum. Sopir dan kernek baru tahu ada “penumpang gelap” jika sudah sampai ke Bandung. Atau bahkan mereka tidak tahu sama sekali. Sebab begitu truk memperlambat lajunya dan akan berhenti di kawasan Cicadas, kami sudah melenggang di trotoar.
Dari Cicadas, jalan kaki ke lapang Sidolig atau Stadion Siliwangi. Bubar sore menjelang magrib, jalan kaki lagi ke Cicadas. Menuju rumah seorang kerabat. Ikut nginap di sana. Pulang ke Limbangan esok hari (Senin pagi), naik kereta api dari Kiaracondong. Turun di Cibatu. Jalan kaki ke Limbangan, atau (kalau kebetulan ada) ikut truk pasir hingga Sasakbeusi.
Tentu saja hari itu saya dan kawan-kawan sesama bobotoh bolos sekolah. Untung tidak terlalu sering. Persib main melawan tim kota lain (pertandingan persahabatan), seperti Persebaya (Surabaya), Persis (Solo) sebulan atau dua bulan sekali. Pernah pula melawan tim luar negeri. Kalau tidak salah dari Cina.
Seingat saya selama lima tahun menjadi penonton setia Persib, tak pernah ada keributan gara-gara ulah bobotoh. Jika Persib menang, cukup bersorak-sorai di dalam stadion. Dilanjutkan pada waktu pulang oleh sebagian penonton yang merasa sugema mendapat suguhan gol-gol Persib, dengan cara mengibar-ngibarkan sapu tangan atau koran kepada setiap orang yang ditemui di jalan.
Jika kebetulan Persib kalah, cukup dengan membungkam. Stadion sepi bagai gaang katincak. Kibaran-kibaran saputangan dan koran tidak terlihat di perjalanan pulang. Semua rata-rata menunduk lesu sebagai tanda kecewa berat.
Mungkin karena para penonton yang notabene bobotoh setia Persib di masa itu, benar-benar merasa memiliki dan menghargai Persib lahir batin. Mereka datang dari berbagai tempat ti nanggerang lila caang ti nanggorek lila poek semata-mata karena rasa cinta dan sayang kepada Persib. Mereka ikut menjaga prestise dan prestasi Persib sebagai kesebelasan yang ditakuti lawan, dengan menjunjung tinggi keamanan dan ketertiban di dalam dan di luar arena pertandingan. Sedikit saja bobotoh berlaku codeka, Persib ikut ternoda. Semisal melempar benda-benda kepada pemain lawan, atau menyoraki secara keterlaluan. Jika ada bobotoh yang berbuat begitu, pasti rekan-rekan di dekatnya segera memperingatkan.
Para bobotoh era 1950-an dan 1960-an, tahu sekali, jika mereka berbuat neko-neko, justru akan membebani mental pemain. Akan mengganggu konsentrasi dan mutu permainan para kampiun bola Persib yang terkenal tenang, matang dan lincah.
Nama-nama Witarsa, Rukma, Wowo, Omo, Henky Timisela, Pietje Timisela, Ade Dana, Parhim, Rukman, Emen, Fatah Hidayat, Komar, Yus Etek, Max Timisela, disusul Aen Karnaen, Obon, hingga Nandar, Encas Tonif, sudah menyatu dengan pikiran dan perasaan para bobotoh. Sebagaimana Ajat Sudrajat, Adeng Hudaya, Wawan Karnawan, Robby Darwis, bagi generasi bobotoh tahun 1980-an.
Mereka dibiarkan tenang bermain di lapangan hijau tanpa gangguan dan tuntutan bobotoh yang berlebihan. Suguhan permainan mereka yang cantik dan menarik, tetap menjadi tujuan utama. Bukan urusan kalah atau menang. Apalagi sampai merusak dan mengganggu ketertiban umum, mengundang kebencian dan permusuhan seperti sering terjadi akhir-akhir ini.
Apakah sikap bobotoh itu terlahir dari suatu kondisi bahwa Persib adalah Persib ? Dalam arti merupakan kumpulan para pemain sepakbola dari berbagai daerah — seluruh Indonesia — yang bermain di Bandung dan mengibarkan bendera klub Bandung ? Para pemain yang namanya disebut di atas tadi, banyak yang bukan orang Bandung asli. Ada yang dari Garut, Ciamis, bahkan Ambon. Tanpa menonjolkan corak fanatisme kedaerahan – bahkan lebih cenderung menunjukkan nasionalisme NKRI — Persib telah menorehkan tinta emas dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Ketika para pemain Persib menjadi tulang punggung tim nasional Indonesia, pada waktu itulah PSII menapaki puncak-puncak kejayaannya. Kalau tak salah, pernah tujuh atau delapan pemain Persib berstatus pemain nasional, dan sering melanglangbuana bertanding ke luar negeri. Antara lain ke Eropa Timur. Untuk tingkat Asia, PSII sudah tak punya lawan sebanding lagi.
Bobotoh Persib sekarang dicap cenderung barbar. Holigan. Eleh meunang sarua bae amuk-amukan. Apakah hal ini timbul dari ketidakpuasan karena Persib seolah-olah tidak lagi menghargai bibit-bibit pemain lokal (daerah) dan lebih memanjakan pemain asing ? Pada bawah sadar para bobotoh menumpuk gumpalan kekesalan dan kepenasaranan yang sulit terucapkan, kecuali dengan melampiaskannya dalam bentuk hooliganisme.
Cinta kepada Persib, tapi ada sesuatu yang membuat cinta itu bercampur “dendam kesumat”. Ibarat seorang jejaka, cinta berat kepada seorang gadis, namun si buah hati “selingkuh”. Melepaskan tak mau karena berbagai pertimbangan, menerima juga rikuh karena berbagai petimbangan pula. Akhirnya napsu kapegung.
Saya ikut merasakan pula “derita hati” para bobotoh yang diibaratkan bernasib nahas seperti sang jejaka. Sehingga, saya terpaksa tak pernah lagi menyaksikan langsung Persib bertanding. Padahal sekarang, untuk beli karcis tak usah menguras sarang ayam tetangga. Pergi tak usah naik trum minyak kelapa. Entahlah nanti, setelah Persib kembali “asli”, seperti zaman Witarsa, Rukma, Wowo, Omo, Adjat, Adeng, sebagaimana dijanjikan Ketua Umum Persib baru-baru ini. Teriring salam buat para bobotoh Persib generasi terbaru. Sing sabar jeung tawekal. Hindari perbuatan yang dapat menodai citra Persib yang tetap kita cintai walaupun sekarang sedang dirundung “perselingkuhan”.***
H.Usep Romli HM, bobotoh Persib tahun 1960-an.

Sumber : Republika Dan Pikiran Rakyat
                                                                                                                                             "By D2N"